Rabu, 08 Juni 2011

SISTEM KEMITRAAN PETANI SINGKONG DAN KOPERASI UNTUK MENSEJAHTERAKAN PETANI

SISTEM KEMITRAAN PETANI SINGKONG DAN KOPERASI

UNTUK MENSEJAHTERAKAN PETANI

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto


Dengan Agribisnis singkong yang terpadu akan dapat menciptakan kepastian hasil usaha dan pendapatan, bisa menyediakan alternative pakan bagi usaha peternakan Sapi, menyediakan sumber pupuk organic yang gratis dan keuntungan-keuntungan lainnya. Agribisnis SIngkong yang dilakukan secara terpadu dengan industry pengolahan tepung mocaf, peternakan Sapi dan industry kecil menengah Pupuk Organik, akan secara sinergis membuat petani lebih maju, mandiri dan sejahtera. Dan usaha yang terpadu yang melibatkan beberapa pihak akan berjalan lebih sinergis, saling menguntungkan dan dapat memaksimalkan seluruh sumber daya yang ada,

Pada tahun 2008 yang lalu saya pernah menulis tentang keberadaan suatu Kelompok Tani yang berada di Pulau Nunukan, namanya Kelompok Tani Hijau Lestari. Waktu itu saya sangat akrab dengan kelompok ini karena saya sering mengunjungi mereka, dan beberapa pengurusnya juga sering bertemu di kantor maupun di rumah. Dari seringnya bertemu itulah suatu saat muncul cetusan ide tentang bagaimana memulai program untuk mensejahterakan petani di Nunukan ini akan diwujudkan.

Betapa tidak, di kelompok tani ini ada 25 orang anggotanya, lahan kering yang dimiliki oleh seluruh anggotanya sekitar 50 hektar dan lahan basahnya yang berupa sawah tadah hujan dan sebagian beririgasi setengah teknis ada sekitar 20 hektar. Namun demikian keadaan kesejahteraan mereka sangat sederhana. Mereka mengaku bahwa rata-rata pendapatan per bulannya hanya sekitar Rp 500.000 sampai Rp 700.000. Itu pun tidak mereka terima setiap bulannya. Memang demikianlah adanya, karena belum semua lahannya bisa tergarap. Lahan yang tergarap dengan tanaman semusim pun belum tentu berhasil. Inilah yang kemudian menjadikan mereka seperti tidak berdaya mengelola sumberdaya yang ada.

Bukannya mereka malas? Bukan, mereka tidak malas, karena saya tahu hampir tiada hari tanpa turun ke lahan mereka. Malah mereka merasa kekurangan waktu, karena selain harus ke ladangnya (lahan kering) mereka juga harus ke lahan sawahnya. Sebagian mereka juga mengurusi ternak berupa Sapi, kambing ataupun Unggas. Mereka termasuk sangat rajin, namun ternyata kerja keras mereka belum bisa merubah nasibnya, paling tidak sampai saat ini saat tulisan ini And abaca. Sekarang ini kita di pertengahan tahun 2011, awal bulan Juni. Berarti sudah sekitar 3 (tiga) tahun, dan keadaan kelompok tani tersebut belum ada perubahan yang signifikan.

Itu akan lain seandainya scenario pemikiran saya waktu itu bisa dilakukan. Lalu bagaimana rencana waktu itu?

Kelompok Tani Hijau Lestari ini diskenariokan bekerja sama dengan suatu Koperasi yang bergerak di bidang usaha Agribisnis Singkong secara terpadu. Usaha koperasi ini meliputi :

1. Pembelian Singkong segar dari petani

2. Pengolahan Ubikayu menjadi Tepung Mocaf

3. Peternakan Sapi dengan pakan utama dari limbah Singkong

4. Produksi Pupuk Organik dan Pestisida Nabati dari limbah ternak Sapi

5. Mengelola Biogas dari limbah ternak Sapi

6. Usaha simpan pinjam

7. Kios Saprodi dan Sembako

8. Dll.

Skema kemitraan dengan kelompok tani adalah sebagai berikut :

1. Semua petani yang menjadi anggota Kelompok Tani otomatis menjadi anggota koperasi.

2. Usaha koperasi ini berbasis pada lahan usaha kelompok tani yang berupa lahan kering, yaitu seluas 50 hektar dengan pola kerja sama bagi hasil atau sewa atau kontrak pembelian.

3. Para petani sepenuhnya akan menjadi karyawan koperasi untuk mengelola lahan mereka sendiri dengan manajemen koperasi.

4. Komoditi yang diusahakan adalah Singkong untuk produksi Tepung Mocaf.

5. Koperasi mengelola Pabrik Pengolahan Tepung Mocaf, Peternakan Sapi, Pabrik Pupuk Organik dan Pestisida Nabati, dengan memaksimalkan peran serta para petani sebagai karyawan dengan kapasitas yang disesuaikan kemampuannya.

6. Para petani sepakat melakukan kerjasama ini minimal selama 10 tahun.

7. Kerjasama ini diawasi oleh Pemerintah Daerah secara berjenjang dan dibina oleh instansi terkait yang membidanginya.

Lalu apa saja yang akan dihasilkan dari Sistem Kemitraan antara Koperasi dan Kelompok tani dengan lahan usaha seluas 50 hektar ? Kita harus menggunakan beberapa asumsi dulu, yaitu :

1. Produktifitas lahan SIngkong adalah 60-90 ton per hektar per musim (6-9 bulan), atau rata-rata 10 ton/ha/bulan.

2. Limbah kulit singkong rata-rata sebanyak 30 % dari berat ubi.

3. Jumlah pakan limbah untuk setiap ekor Sapi adalah 25 kg pakan/hari/ekor

4. Rendemen Tepung Mocaf dari ubi Singkong rata-rata 25 %.

5. Rasio luas lahan singkong dan jumlah Sapi yang bisa dipelihara dengan pakan dari limbah lahan Singkong adalah 1 hektar dibanding dengan 4 ekor Sapi, atau 4 ekor Sapi/ha.

6. Jumlah limbah padat kering 5 kg/ekor Sapi, dan limbah cair urine Sapi sekitar 5 liter/ekor/hari.

7. Harga pupuk organic padat kering Rp 1.000/kg, harga pupuk organic cair dari urine Sapi Rp 2.000/liter.

8. Penambahan berat badan Sapi sekitar 0,8 kg/ekor/hari

9. Harga berat hidup sapi sekitar Rp 25.000/kg berat hidup

10. Harga ubi Singkong tingkat kebun Rp 300/kg

11. Harga Tepung Mocaf tingkat pabrik Rp 3.500/kg

Produk dari Sistem Agribisnis Singkong Terpadu seluas 50 ha lahan Singkong, 200 ekor Sapi dengan Pabrik Tepung Mocaf kapasitas menyesuaikan, dll. ini adalah :

1. Setelah mulai panen Singkong maka kapasitas produksi ubi rata-rata adalah sekitar 500 ton/bulan, atau 16.666 kg/hari.

2. Nilai pendapatan petani dari ubi Singkong dengan harga tingkat kebun adalah sebesar Rp 150 juta/bulan atau Rp 5 juta/hari.

3. Produksi limbah kulit singkong segar 150 ton/bulan atau 5 ton/hari.

4. Jumlah Sapi yang bisa dikelola dengan pakan limbah singkong adalah 200 ekor, dengan total penambahan berat badan 160kg, dengan total nilai penambahan harga berat hidup Rp 4 juta/hari.

5. Produksi Tepung Mocaf sekitar 125 ton/bulan, atau 4.166 kg/hari

6. Nilai pendapatan Koperasi dari Tepung Mocaf dengan harga tingkat Pabrik adalah sebesar Rp 437,5 juta/bulan atau Rp 14,583 juta/hari.

7. Jumlah produksi pupuk organic padat sebesar 1.000 kg/hari, dengan nilai Rp 1 juta/hari.

8. Sedangkan pupuk organic cair sebesar 1.000 liter/hari senilai Rp 2 juta/hari.

9. Dll.

Tabel Nilai perolehan hasil dari Kemitraan Sistem Agribisnis Singkong-Mocaf-Sapi Terpadu skala 50 hektar antara petani dan koperasi

No.

Asal sub system kegiatan

Pihak

Petani

(Rp /hari)

Pihak

Petani

(Rp/bulan)

Pihak

Koperasi

(Rp /hari)

Pihak

Koperasi

(Rp /bulan)

1.

Panen Ubi Singkong

5 juta

150 juta

-

-

2.

Produksi Tepung Mocaf

-

-

14,583 juta

437,5 juta

3.

Nilai penambahan berat hidup Sapi

-

-

4,0 juta

120,0 juta

4.

Nilai pupuk organic padat

-

-

1,0 juta

30,0 juta

5.

Nilai pupuk organic cair

-

-

2,0 juta

60,0 juta

JUMLAH

5 juta

150 juta

21,583 juta

437,5 juta

Keterangan : Nilai perolehan tersebut belum dikurangi dengan biaya produksi, biaya operasional, dll.

Dari proyeksi perhitungan di atas terlihat proporsi perolehan petani lebih kecil dibandingkan perolehan koperasi. Sebaliknya nilai perolehan koperasi kelihatan besar. Hal tersebut terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1. Nilai perolehan tersebut masih kotor, belum dikurangi biaya-biaya seperti biaya produksi, biaya operasional, pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja serta biaya penyusutan, dll. Pihak Petani memperoleh Rp 150 juta/bulan/50 hektar lahan atau sebesar Rp 3 juta/bulan/hektar. Kalau rata-rata kepemilikan lahan 2 hektar/petani, maka rata-rata perolehan setiap petani adalah Rp 6 juta/bulan/2 hektar. Seandainya biaya-biaya yang dikeluarkan petani itu 1/3 bagian dari jumlah perolehan, maka perolehan bersih petani dari budidaya Singkong mereka adalah Rp 4 juta/bln/2 hektar atau Rp 2 juta/bln/ha.

2. Perolehan petani memang terutama adalah dari sisi budidaya singkong saja, namun tidak menutup kemungkinan bahwa petani juga bisa berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi, baik sebagi karyawan atau sebagai mitra kerja, apakah itu di Pabrik Mocaf, di Peternakan Sapi atau di Unit Pengolahan Limbah, Pupuk & Pestisida Nabati serta Unit-unit lain yang dimiliki oleh Koperasi. Unit-unit lain yang dimaksud seperti : Unit Simpan Pinjam, Unit Toko Sembako dan Saprodi, Unit Bengkel, dll.

3. Kalau misalnya dari kegiatan-kegiatan di koperasi petani juga melibatkan diri, artinya petani masih mungkin untuk meningkatkan pendapatannya. Sebagai contoh bila petani diserahi untuk pemeliharaan Sapi dengan pola bagi hasil, tentu petani tersebut akan memperoleh tambahan penghasilan. Apalagi bila ada lagi kegiatan lain dari koperasi seperti pengangkutan hasil panen, pengupasan ubi singkong, operator mesin pabrik, dan lain-lain, tentu akan semakin menambah pendapatan hasil usahanya itu. Jadi tergantung kepada petani, jenis usaha dan kegiatan apa yang akan dimasukinya. Hal tersebut bisa terjadi karena para petani adalah juga anggota koperasi dan berhak untuk juga berpartisipasi dalam jenis-jenis usaha koperasi.

4. Sedangkan nilai perolehan koperasi tinggi karena masih berupa perolehan kotor dan belum dikurangi biaya-biaya, seperti :

a. Pembelian ubi Singkong dari petani

b. Biaya panen dan angkutan ubi dari kebun ke pabrik

c. Biaya prosesing mulai dari pengupasan, pencucian, perajangan, proses fermentasi, penirisan, proses pengeringan chip, penepungan sampai pengemasan, penggudangan sampai proses marketingnya.

d. Demikian juga pada kegiatan-kegiatan koperasi lainnya seperti pemeliharaan ternak Sapi yang menggunakan banyak tenaga kerja dan biaya operasional lainnya.

e. Dst.

Jika diasumsikan bahwa biaya-biaya itu secara keseluruhan unit itu mencapai 70-80 % dan nilai margin usaha itu 20-30%. Maka nilai perolehan bersih dari koperasi sekitar Rp 4,32 - 6,47 juta/hari atau sekitar Rp 129,5 juta sampai Rp 194,2 juta/bulan. Dari hasil ini maka koperasi akan semakin berkembang dan petani yang masuk di dalam system kemitraan tersebut akan turut maju dan berkembang serta lebih sejahtera.

Apakah hitungan-hitungan di atas ada yang masih dipertanyakan? Bagaimana menurut Anda?

Selasa, 07 Juni 2011

MENGIKAT BIBIT RUMPUT LAUT DENGAN TALI RAFIA UNTUK PRODUKSI YANG MAKSIMAL DAN PASTI

MENGIKAT BIBIT RUMPUT LAUT DENGAN TALI RAFIA UNTUK PRODUKSI YANG MAKSIMAL DAN PASTI

Oleh : Ir. Dian Kusumanto

Praktek budidaya rumput laut Eucheuma cottoni oleh para petani rumput laut terbilang masih belum maksimal produksinya. Para petani rumput laut di Kabupaten Nunukan biasanya sudah sangat gelisah, cemas dan tidak tenang, penuh kekhawatiran, manakala usia penanaman sudah memasuki hari ke 45. Apalagi jika kondisi laut tempat penanaman terjadi gelombang yang agak besar atau arus gelombang yang kuat, para petani sering mengalami kegagalan.

Kegagalan panen terjadi karena rumput laut yang hampir dipanen ini terputus dan jatuh ke dasar laut serta terbawa arus gelombang. Yang lebih parah lagi kalau tali fondasi juga ikut tercabut dan tergulung sehingga bisa menarik tali-tali milik tetangga pembudidaya. Hal ini sering terjadi pada saat awal-awal budidaya rumput laut tahun 2008-2009. Dari banyak pengalaman akhirnya para petani semakin memperkokoh pancangan fondasi sehingga lebih kuat dan tidak terbawa oleh arus dan gelombang laut selama masa budidaya.

Bibit RL unggul dari Jeapara ex Plippina.jpgBibit RL dari Karimunjawa Jepara.JPG

Putus atau rontoknya rumput laut sebelum dipanen ini setelah diamati disebabkan karena tali yang digunakan untuk mengikat bibit ini rata-rata berukuran kecil dan berpotensi menggigit, mencekik, menggerek dan memotong batang rumput laut. Karena gelombang dan arus yang terus menerus maka rumput laut yang semakin besar ini juga ikut terombang-ambing, terhentak-hentak, tertarik-tarik. Semakin kuat gelombang dan arus, semakin sering frekuensinya, maka semakin riskan memutus rumput laut. Semakin bertambah umur maka rumput laut juga semakin besar dan berat sehingga semakin riskan mengalami rontok atau putus

Rumput laut sebenarnya punya daya lentur dan elastisitas yang semakin baik dari waktu ke waktu pertumbuhannya. Namun juga daya lentur dan elastisitas ini akan mencapai puncaknya pada umur tertentu dan setelah itu berangsur kurang pada umur budidaya selanjutnya. Daya lentur elastisitas ini sering disebut sebagai gel strength. Maksimalnya gel strength ini rata-rata tercapai pada umur antara 45-55 hari. Maka pada saat inilah biasanya rumput laut itu lazimnya dipanen, setelah umur itu rumput laut sangat riskan mengalami patah atau terputus sehingga gagal panen.

Penyebab putusnya rumput laut menjelang panen ini dapat diidentifikasi sebabagi berikut :

1. Bebannya semakin berat

2. Menurunnya kelenturan dan kekenyalan (gel strength)

3. Tali pengikat bibit yang kecil dan tajam sehingga menggigit, mencekik dan memotong

4. Tali yang rapuh sehingga terputus

5. Gelombang dan arus laut yang besar, kuat dan sering

Namun dari beberapa penyebab di atas yang paling dominan adalah sebab ketiga, yaitu tali pengikat bibit yang kecil dan tajam sehingga berpotensi menggigit, mencekik dan memotong. Penyebab lainnya memang sudah menjadi fitrah semua budidaya di laut dan ini akan bisa diabaikan jika tali pengikat bibit rumput laut itu tidak memutus rumput laut yang menjelang dipanen. Bahkan seandainya rumput laut itu tumbuh semakin besar, semakin berat dan berkembang dengan cepat dan maksimal.

Dari hal-hal di atas akhirnya para petani rumput laut di Nunukan (bahkan di seluruh Indonesia) memilih menanam rumput laut dengan bibit yang kecil-kecil namun ditanam lebih rapat. Hal ini agar jika nanti sudah semakin besar, tidak terlalu besar dan berat sehingga mudah putus. Dengan jumlah titik penanaman (jarak tanam) yang rapat juga akan diperoleh hasil yang banyak pula. Disamping itu jumlah bibit yang diperlukan bisa dihemat. Begitulah rata-rata alasan para petani rumput laut Nunukan.

Namun hal di atas tidak disadari bahwa dengan penanaman yang sangat rapat dan bibit yang kecil-kecil menyebabkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Biaya pembelian tali pengikat bibit semakin besar

2. Tenaga yang diperlukan untuk mengikat semakin banyak.

3. Jumlah produksi pertitik kecil karena bibitnya kecil

4. Waktu yang diperlukan untuk mengikat seluruh bibit dalam setiap bentangan tali semakin lama

5. Dll.

Mengikat bibit dengan tali rafia

Mengikat bibit dari tali rafia ini sudah dilakukan oleh para petani dan pengusaha rumput laut di wilayah Samporna, Sabah Malaysia. Salah satunya adalah perusahaan investasi budidaya rumput laut yang bernama Dynasty Marine Farm (DMF). Perusahaan ini merupakan pembudidaya rumput laut yang dikelola sangat rapih dan baik dengan hamparan budidaya yang sangat luas. Dengan areal yang sangat ideal pola budidaya yang cukup modern ditunjang sarana prasarana serta modal dari para investornya yang cukup, sehingga mampu menjanjikan keuntungan yang cukup menggiurkan.

Besarnya bibit yang ditanam cukup besar dengan berat sekitar 200 gram atau 2 ons atau 0,2 kg. Biasanya dari bibit tersebut yang dipelihara selama sekitar 45 hari s/d 55 hari akan dicapai perkembangan dan pertumbuhan sebesar sekitar 6 kali lipat berat bibit semula, yaitu mencapai berat panen 1,2 kg per titik.

Berbeda dengan kebiasaan para petani kita yang biasa menggunakan bibit dengan berat kurang dari 1 ons, bahkan hanya sekitar 50 gram atau 0,5 ons. Makanya pada saat panen dengan umur 45 petani kita hanya memetik sekitar 200 – 600 gram per titik. Di wilayah Sedadap Nunukan penulis mencatat hasil panen rata-rata para petani rumput laut hanya sekitar 200 gram saja per titik. Padahal kalau rumput laut seberat 200 gram di Samporna baru berupa bibit.

Tentang kegiatan budidaya di DMF Samporna, Sabah Malaysia bisa dilihat pada video pada alamat link di bawah ini :

1. http://www.youtube.com/watch?v=QJEzbmwxhZ0&NR=1

2. http://www.youtube.com/watch?v=_Xx6Uw3mwuI&NR=1

3. http://www.youtube.com/watch?v=6FwTEDswfCY&feature=related

4. http://www.youtube.com/watch?v=c7vPewOwk-4&feature=related

5. http://www.youtube.com/watch?v=vfYTRuTN6a4&feature=related

Silakan untuk disaksikan dan didownload.

Bagaimana menurut Anda??

MENGHITUNG UNTUNG RUGI MENGIKAT BIBIT RUMPUT LAUT DENGAN TALI RAFIA

MENGHITUNG UNTUNG RUGI MENGIKAT BIBIT RUMPUT LAUT DENGAN TALI RAFIA

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto

Mengikat bibit dengan tali rafia

Panen rumput laut Eucheuma cottoni yang diikat dengan tali raffia bisa mencapai berat 1,2 kg per titik bibit bahkan sampai 1,64 kg (seperti foto di atas) tanpa mengalami putus atau jatuh. Hal tersebut karena tali raffia memiliki permukaan yang lembut dan lunak, tidak menggigit atau menggerek, tapi cukup kuat untuk menahan beban yang lumayan berat tersebut meskipun beban tersebut bergerak-gerak terombang ambing oleh gerakan ombak dan arus air laut.

Kalau tali bentangan panjang 25 meter dengan jarak ikatan tali bibit setiap 25 cm, maka ada sekitar 100 titik bibit dalam setiap tali bentangan. Kalau bibit yang diikat masing-masing seberat 0,2 kg maka berat bibit yang diperlukan adalah sekitar 20 kg dalam setiap tali bentangan. Jika panen dengan umur antara 45-50 hari bisa mencapai 1,2 kg, maka panen dalam setiap tali bentangan akan mencapai sekitar 120 kg.

Tali bentangan yang masing-masing ujungnya diikat ke tali fondasi dengan jarak kurang lebih 1 meter. Kalau panjang tali fondasi itu ada 100 meter maka tali bentangan ada sekitar 100 buah. Dengan panjang tali bentangan 25 meter dan panjang tali fondasi 100 meter, artinya luas areal budidaya adalah 2.500 meter persegi atau seluas 0,25 hektar. Maka dalam hitungan luas areal budidaya 10.000 meter persegi atau satu hektar dapat diisi sekitar 400 tali bentangan.

Dengan system tali raffia ini jarak ikat antar bibit 25 cm, jarak ikat antar tali bentangan 1 meter, berarti populasi per hektar mencapai 40.000 bibit. Dengan berat per titik bibit 2 ons dibutuhkan bibit dalam hitungan hektar 8 ton bibit. Jika setelah 45 -55 hari masing-masing bibit memiliki berat rata-rata 1,2 kg, maka hasil produksinya nanti akan mencapai sekitar 48 ton rumput laut basah (RLB). Ini hitungan dalam luasan budidaya 1 (satu) hektar dengan banyak tali bentangan 400 tali. Jika rendemen hasil Rumput Laut Kering (RLK) dari RLB itu rata-rata 10%, maka akan diperoleh hasil 4,8 ton RLK.

Bagaimana kalau hitungan masa setahun? Anggaplah masa turun tali dan kemudian angkat tali dalam satu musim itu sekitar 2 bulan, maka dalam setahun ada 6 (enam) kali musim panen. Maka rata-rata hasil produksinya sekitar 284 ton RLB per tahun per hektar atau sekitar 28,4 ton RLK/tahun/ha. Dengan harga seperti sekarang di tingkat petani (di Kabupaten Nunukan) Rp 8.500/kg RLK, maka hasil pendapatan petani yang memiliki 400 tali bentang atau dengan luasan satu hektar adalah sekitar Rp 241.400.000,-/tahun/hektar.

Mengikat bibit dengan tali gelang atau tali cincin

Beda dengan pengikatan bibit rumput laut dengan system tali gelang tunggal atau tali gelang dobel. Bibit yang diikat ukurannya kecil-kecil, tetapi diikat dengan jarak yang sangat rapat. Bibit yang diikat biasanya rata-rata seberat 0,2 – 0,3 ons. Dalam tali bentangan yang panjangnya sekitar 25 meter itu, bibit diikat dalam tali gelang dengan jarak 12,5 cm, dan setiap titik ada 2 gelang tali bibit, sehingga dalam setiap tali bentangan ada sebanyak 400 bibit.

Maka benar saja jika ada yang mengatakan bahwa dalam setiap bentangan model gelang dobel ini memerlukan bibit sekitar 10 kg saja, bahkan kurang. Itu karena bibit yang diikat sangat kecil yaitu sekitar 20 gram atau 0,20 ons saja. Oleh karena itu tidak aneh jika rata-rata hasil panen petani yang menggunakan model tali gelang dobel ini hanya sekitar 30-60 kg setiap tali bentangan.

Tali bentangan yang masing-masing ujungnya diikat ke tali fondasi dengan jarak kurang lebih 0.5 meter. Kalau panjang tali fondasi itu ada 100 meter maka tali bentangan ada sekitar 200 buah. Dengan panjang tali bentangan 25 meter dan panjang tali fondasi 100 meter, artinya luas areal budidaya adalah 2.500 meter persegi atau seluas 0,25 hektar. Maka dalam hitungan luas areal budidaya 10.000 meter persegi atau satu hektar dapat diisi sekitar 800 tali bentangan.

Dengan system tali gelang atau tali cincin ini jarak ikat antar bibit 12.5 cm, jarak ikat antar tali bentangan 0.5 meter, berarti populasi per hektar mencapai 160.000 titik. Dengan pola 2 gelang per titik maka populasi bibit itu mencapai 320.000 bibit. Dengan berat per bibit 0.2 ons dibutuhkan bibit dalam hitungan hektar 6,4 ton bibit. Jika setelah 45 -55 hari masing-masing bibit memiliki berat rata-rata 1,2 ons, maka hasil produksinya nanti akan mencapai sekitar 38,4 ton rumput laut basah (RLB). Ini hitungan dalam luasan budidaya 1 (satu) hektar dengan banyak tali bentangan 800 tali. Jika rendemen hasil Rumput Laut Kering (RLK) dari RLB itu rata-rata 10%, maka akan diperoleh hasil 3,84 ton RLK.

Bagaimana kalau hitungan masa setahun? Anggaplah masa turun tali dan kemudian angkat tali dalam satu musim itu sekitar 2 bulan, maka dalam setahun ada 6 (enam) kali musim panen. Maka rata-rata hasil produksinya sekitar 230,4 ton RLB per tahun per hektar atau sekitar 23,04 ton RLK/tahun/ha. Dengan harga seperti sekarang di tingkat petani (di Kabupaten Nunukan) Rp 8.500/kg RLK, maka hasil pendapatan petani yang memiliki 800 tali bentang atau dengan luasan satu hektar adalah sekitar Rp 195.840.000,-/tahun/hektar.

Sistem Tali Rafia

Sistem Tali Gelang Dobel

Jumlah titik bibit :

Kalau tali bentangan panjang 25 meter dengan jarak ikatan tali bibit setiap 25 cm, maka ada sekitar 100 titik bibit.

Jumlah titik bibit :

Dalam tali bentangan yang panjangnya sekitar 25 meter itu, bibit diikat dalam tali gelang dengan jarak 12,5 cm, dan setiap titik ada 2 gelang tali bibit, sehingga dalam setiap tali bentangan ada sebanyak 400 bibit.

Berat bibit per titik :

Kalau bibit yang diikat masing-masing seberat 0,2 kg maka berat bibit yang diperlukan adalah sekitar 20 kg dalam setiap tali bentangan.

Berat bibit per titik :

Bibit yang diikat ukurannya kecil-kecil, tetapi diikat dengan jarak yang sangat rapat. Bibit yang diikat biasanya rata-rata seberat 0,2 – 0,3 ons.

Berat bibit per tali bentangan :

Kalau bibit yang diikat masing-masing seberat 0,2 kg maka berat bibit yang diperlukan adalah sekitar 20 kg.

Berat bibit per tali bentangan :

Maka benar saja jika ada yang mengatakan bahwa dalam setiap bentangan model gelang dobel ini memerlukan bibit sekitar 10 kg saja, bahkan kurang.

Berat Panen per titik bibit :

Panen rumput laut Eucheuma cottoni yang diikat dengan tali raffia bisa mencapai berat 1,2 kg per titik bibit bahkan 1,64 kg tanpa mengalami putus atau jatuh.

Berat Panen per titik bibit :

Rata-rata hasil panen petani yang menggunakan model tali gelang dobel ini hanya sekitar 1,0-2,0 ons setiap titik.

Berat Panen per tali bentangan :

Jika panen dengan umur antara 45-50 hari bisa mencapai 1,2 kg, maka panen dalam setiap tali bentangan akan mencapai sekitar 120 kg atau bahkan lebih.

Berat Panen per tali bentangan :

Oleh karena itu tidak aneh jika rata-rata hasil panen petani yang menggunakan model tali gelang dobel ini hanya sekitar 30-60 kg setiap tali bentangan.

Ongkos pasang tali raffia

Dalam 1 tali bentangan (25 m) ada 100 titik, masing-masing titik ada 1 ikat bibit, sehingga bisa memasang 100 potong bibit.

Di Nunukan : belum pernah ada.

Sedangkan ongkos pasang bibit sebanyak antara 100 bibit per tali bentangan :

Di Nunukan : belum pernah ada.

Ongkos pasang tali gelang bibit :

Dalam 1 tali bentangan (25 m) ada 200 – 250 titik, masing-masing titik ada 2 gelang, sehingga bisa memasang 400 – 500 potong bibit.

Di Nunukan : Rp 5.000 per tali bentangan.

Sedangkan ongkos pasang bibit sebanyak antara 400 – 500 bibit per tali bentangan :

Di Nunukan : Rp 5.000 per tali bentangan

Tali bentangan yang masing-masing ujungnya diikat ke tali fondasi dengan jarak kurang lebih 1 meter.

Kalau panjang tali fondasi itu ada 100 meter maka tali bentangan ada sekitar 100 buah. Dengan panjang tali bentangan 25 meter dan panjang tali fondasi 100 meter, artinya luas areal budidaya adalah 2.500 meter persegi atau seluas 0,25 hektar.

Maka dalam hitungan luas areal budidaya 10.000 meter persegi atau satu hektar dapat diisi sekitar 400 tali bentangan.

Dengan system tali raffia ini jarak ikat antar bibit 25 cm, jarak ikat antar tali bentangan 1 meter, berarti populasi per hektar mencapai 40.000 bibit.

Dengan berat per titik bibit 2 ons dibutuhkan bibit dalam hitungan hektar 8 ton bibit. Jika setelah 45 -55 hari masing-masing bibit memiliki berat rata-rata 1,2 kg, maka hasil produksinya nanti akan mencapai sekitar 48 ton rumput laut basah (RLB).

Ini hitungan dalam luasan budidaya 1 (satu) hektar dengan banyak tali bentangan 400 tali. Jika rendemen hasil Rumput Laut Kering (RLK) dari RLB itu rata-rata 10%, maka akan diperoleh hasil 4,8 ton RLK.

Bagaimana kalau hitungan masa setahun? Anggaplah masa turun tali dan kemudian angkat tali dalam satu musim itu sekitar 2 bulan, maka dalam setahun ada 6 (enam) kali musim panen.

Maka rata-rata hasil produksinya sekitar 284 ton RLB per tahun per hektar atau sekitar 28,4 ton RLK/tahun/ha.

Dengan harga seperti sekarang di tingkat petani (di Kabupaten Nunukan) Rp 8.500/kg RLK, maka hasil pendapatan petani yang memiliki 400 tali bentang atau dengan luasan satu hektar adalah sekitar Rp 241.400.000,-/tahun/hektar.

Tali bentangan yang masing-masing ujungnya diikat ke tali fondasi dengan jarak kurang lebih 0.5 meter. Kalau panjang tali fondasi itu ada 100 meter maka tali bentangan ada sekitar 200 buah. Dengan panjang tali bentangan 25 meter dan panjang tali fondasi 100 meter, artinya luas areal budidaya adalah 2.500 meter persegi atau seluas 0,25 hektar.

Maka dalam hitungan luas areal budidaya 10.000 meter persegi atau satu hektar dapat diisi sekitar 800 tali bentangan.

Dengan system tali gelang atau tali cincin ini jarak ikat antar bibit 12.5 cm, jarak ikat antar tali bentangan 0.5 meter, berarti populasi per hektar mencapai 160.000 titik. Dengan pola 2 gelang per titik maka populasi bibit itu mencapai 320.000 bibit.

Dengan berat per bibit 0.2 ons dibutuhkan bibit dalam hitungan hektar 6,4 ton bibit. Jika setelah 45 -55 hari masing-masing bibit memiliki berat rata-rata 1,2 ons, maka hasil produksinya nanti akan mencapai sekitar 38,4 ton rumput laut basah (RLB).

Ini hitungan dalam luasan budidaya 1 (satu) hektar dengan banyak tali bentangan 800 tali. Jika rendemen hasil Rumput Laut Kering (RLK) dari RLB itu rata-rata 10%, maka akan diperoleh hasil 3,84 ton RLK.

Bagaimana kalau hitungan masa setahun? Anggaplah masa turun tali dan kemudian angkat tali dalam satu musim itu sekitar 2 bulan, maka dalam setahun ada 6 (enam) kali musim panen.

Maka rata-rata hasil produksinya sekitar 230,4 ton RLB per tahun per hektar atau sekitar 23,04 ton RLK/tahun/ha.

Dengan harga seperti sekarang di tingkat petani (di Kabupaten Nunukan) Rp 8.500/kg RLK, maka hasil pendapatan petani yang memiliki 800 tali bentang atau dengan luasan satu hektar adalah sekitar Rp 195.840.000,-/tahun/hektar.